Sunday, January 7, 2018

Kualifikasi Ulama: Ilmu, Amal, Akhlak dan Cinta Tanah Air


Ulama (العلماء) berarti orang yang memiliki banyak ilmu, secara pokok adalah ilmu-ilmu agama ditambah ilmu-ilmu umum non agama. Berdasarkan latar belakang keilmuannya, ulama terbagi dalam beberapa spesifikasi yaitu ulama hadits (muhadditsin) , ulama fikih (fuqaha), ulama tafsir (mufassir) dan sebagainya. Jika disebut ulama fikih berarti ulama tersebut sangat ahli dibidang fikih sehingga kepakarannya dalam bidang fikih tidak dapat diragukan. Diakui keilmuannya dalam bidang fikih baik secara formal yaitu ada bukti otentik akedemis (pendidikan) dan karya dibidang fikih maupun non formal yaitu telah diakui kepakarannya oleh publik dibidang fikih.

Disebut ulama bukan hanya terbatas yang ahli membahas agama atau ahli tentang dalil-dalil tertentu dibidang agama secara panjang lebar namun juga mengimbanginya dengan amal perbuatan. Jadi ada keterkaitan secara timbal balik antara kedalaman ilmunya dan kekhusyu'an ibadahnya. Ia mulia dihadapan Allah dan manusia karena ilmu dan amalnya. Amalnya senantiasa berkesinambungan disepanjang hidupnya. Maka untuk membuktikan tokoh tertentu layak disebut ulama atau bukan, telitilah bagaimana pengamalan ilmunya dalam keseharian atau minimal bagaimana pendapat masyarakat tentang aktivitas ibadahnya. Ibadah dan pemahamannya menyimpang atau tidak dengan prinsip-prinsip agama.

Menjadi ulama ternyata tidak gampang dan tidak semudah menyematkan labelnya sebagaimana akhir-akhir ini. Tidak cukup dengan ilmu dan amal melainkan juga dengan pembuktian akhlak. Akhlak adalah puncak tertinggi dari kedalam ilmu seorang ulama. Semakin dalam akhlaknya maka semakin dalam pula keilmuannya terhadap pesan agama. Maka jangan mudah terpesona dengan seseorang yang mengaku ulama namun akhlaknya jauh dari nilai-nilai syariah.

Ulama itu pembawaannya tenang dan menentramkan, tidak menimbulkan kontroversial ditengah masyarakat, tidak serampangan atau terburu-buru dalam menyimpulkan hukum, tidak menyimpulkan hukum hanya satu perspektif atau satu sumber hukum, membawa pesan perdamaian dan tidak mencela manusia atau ulama lainnya yang berbeda pendapat dengannya.

Namanya saja ulama, berarti dia memiliki ilmu secara integral yaitu terakumulasi sumber-sumber ilmu yang lainnya. Sebagai contoh, jika memutuskan sebuah permasalahan hukum dibidang medis atau kedokteran maka seorang ulama akan konsultasi terlebih dahulu kepada dokter atau ahli kesehatan baru kemudian mengeluarkan fatwa. Jika akan mengeluarkan hukum tertentu dibidang tasawuf maka akan mencari referensi dahulu tentang sufisme dan ilmu tentang tasawuf agar tidak salah dalam mengeluarkan fatwa.

Yang memprihatinkan, akhir-akhir ini banyak tokoh dadakan yang kemudian begitu mudah disebut sebagai ulama. Entah karena pengikutnya yang tidak memahami tentang kriteria ulama atau memang tokoh tersebut meminta digelari ulama. Baru muncul beberapa kali ditelevisi kemudian dipanggil ustadz, baru tobat dari dunia keartisan langsung dipanggil ustadz dan baru masuk Islam pun kemudian dipanggil ustadz dan tidak lama kemudian disebut ulama.

Untuk itu, kita (khususnya saya) untuk berhati-hati dalam mengambil ilmu sebab akan dipertanggungjawabkan darimana ilmu yang kita miliki. Timbalah ilmu dari orang-orang shalih, yang berakhlak mulia, yang berakidah lurus, yang istiqamah dan selalu menebarkan rahmat bagi manusia disekitarnya.

Ulama tidak memiliki musuh dimanapun sebab didalam hatinya tidak pernah tersimpan permusuhan dan dendam. Jika bertemu dengan orang awam, ia akan tetap memuliakannya dengan akhlak, tidak merendahkannya sebab orang yang ditemuinya adalah orang yang belum mengetahui ilmunya. Jika bertemu dengan orang alim, ia tetap memuliakannya dan tidak menganggap sebagai pesaingnya dan ia akan berguru kepadanya karena ia sadar bahwa masih banyak orang alim yang lebih alim darinya.


Ulama itu memudahkan dalam setiap perkara hukum. Membawa kabar gembira bagi umat serta tidak menebar teror dan ketakutan. Bukan berarti meremehkan namun menyampaikan dan mengemasnya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat yang ditemuinya. Tidak melangit dengan dalil-dalil yang panjang tapi membumi sehingga mampu dilaksanakan oleh masyarakat sesuai dengan kemampuannya. Jika belum mampu, tidak memaksakannya karena dakwah bukan paksaan tapi mengajak kepada kebaikan.

Simak berikutnya: Hukum Fitnah, Ghibah dan Kritik

Menjadi ulama memang anugerah Allah bagi manusia terpilih.  Merekalah yang mewarisi para nabi baik ilmu, amal dan akhlak. Senantiasa menjadi uswah hasanah yaitu teladan mulia dan qudwah hasanah yakni penguat dan pengokoh kebaikan. Menebarkan perdamaian ditengah-tengah masyarakat.

Disebut ulama bukan hanya lantang dan fasih berbicara tentang agama tapi juga paham tentang nasionalisme dan kebangsaan. Karena ulama sebagai teladan masyarakat, maka ia bertugas menjaga stabilitas kehidupan bangsa. Perekat kebangsaan bagi umatnya yang plural dan majemuk. Tanpa pengetahuan nasionalisme dan kebangsaan, ia akan menjadi alat politik dan kepentingan yang akan merusak kehidupan bangsa. Ia akan menjadi bamper kelompok-kelompok perusak kehidupan bangsa yang bersembunyi dibalik simbol-simbol agama.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...