Saturday, January 6, 2018

Hukum Fitnah, Ghibah dan Kritik


Kata fitnah berakar dari kata fatana. Ketika seseorang berkata fatantu al-fidhdhah wa al-dzahab, artinya adalah bahwa ia membakar perak dan emas dengan api untuk memilah keduanya yang baik dari yang kurang baik. Fatn, salah satu derivasi (perubahan pola) dari kata fitnah, berarti al-ihraq yang berarti membakar Sebagaimana firman Allah:

يَوْمَ هُمْ عَلَى النَّارِ يُفْتَنُوْنَ

(Hari Pembalasan itu ialah) pada hari (ketika) mereka diazab (dibakar) di dalam api nereka. [QS. Az-Zariyat: Ayat 13]

Ibn al-Arabi seperti dikutip Ibn Manzhur dalam Lisan al-‘Arab berkata: “Fitnah itu (beragam arti dan bentuknya), ia dapat berarti ikhtibar berarti ujian, mihnah berarti cobaan, mal yaitu harta, awlad berarti anak keturunan, kufr yaitu kufur, ikhtilaf al-nas bi al-ara berarti perselisihan paham manusia dan ihraq artinya membakar.

Karena betapa buruknya perbuatan fitnah dalam arti berbuat kekacauan dan peperangan, Al-Qur'an menghukuminya lebih jahat dari pembunuhan:

 وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ ۚ

Dan fitnah itu (berbuat kekacauan) lebih kejam daripada pembunuhan. [QS. Al-Baqarah: Ayat 191]

Fitnah juga berarti kesyirikan sebagaimana Al-Qur'an menyebutkan:

وَقٰتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ  لِلّٰهِ  ؕ  فَاِنِ انتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ اِلَّا عَلَى الظّٰلِمِيْنَ

Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah (kesyirikan) dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi) permusuhan kecuali terhadap orang-orang zalim. [QS. Al-Baqarah: Ayat 193]

Dalam bahasa Indonesia, ketika orang difitnah berarti dituduh melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak melakukannya. Tuduhan ini dilakukan untuk merusak nama baik atau reputasi sehingga memiliki stigma negatif dan buruk ditengah masyarakat. Sedangkan menurut Al-Qur'an, orang yang difitnah bermakna orang yang sedang diuji atau dicoba oleh Allah untuk mengetahui seberapa besar keimanan dan ketakwaannya kepada Allah.

Ghibah berarti menceritakan keburukan seseorang atau aib seseorang agar yang diceritakan merasa malu sehingga tercemar nama baiknya. Dalam ayat Al-Qur'an, menggunjing, buruk sangka (su'udzhan), mencela dan menceritakan aib orang lain walaupun faktanya benar maka tetap dihukumi sebagai dosa.

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّ  ۖ   اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًا    ؕ  اَ يُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأۡكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ    ؕ  وَاتَّقُوا اللّٰهَ    ؕ  اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang. [QS. Al-Hujurat: Ayat 12]

Fitnah dan ghibah, walaupun ada sedikit perbedaan namun karena sama-sama menceritakan keburukan orang lain dan pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu  didasari atas dasar kebencian, dendam dan sebagai bentuk pembunuhan karakter maka tetap dihukumi sebagai dosa.

Untuk meneliti sebuah berita publik, umat Islam diperlukan sikap kritis yang disebut dengan klarifikasi (tabayun) agar dapat menyimpulkan dan menyaring berita dan pergunjingan dapat segera diselesaikan.

يٰۤاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِنْ جَآءَكُمْ فَاسِقٌ ۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْۤا اَنْ  تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. [QS. Al-Hujurat: Ayat 6]

Jika mengungkapkan kejahatan atau keburukan seseorang bukan karena kebencian melainkan agar kejahatannya diketahui orang sehingga orang-orang agar berhati-hati atau menunjukkan  kezaliman seseorang maka tidak dihukumi sebagai ghibah melainkan wajib hukumnya sebagai bagian dari amar ma'ruf nahi mungkar.

Ada satu istilah lagi yang sering disalahpahami sehingga dianggap sebagai fitnah atau ghibah yaitu kritik yang dalam bahasa Arab disebut dengan intiqad atau naqd. Kritik kepada seseorang berarti mengungkapkan kesalahan pemikiran orang lain atau mematahkan pemahaman orang lain yang dianggap lemah bukan atas dasar kebencian atau dendam melainkan sebagai sebuah diskusi ilmiah untuk mencari kebenaran.

Para ulama terdahulu, sudah terbiasa dengan budaya kritik. Kritik disini bersifat konstruktif yaitu membangun kesadaran ilmiah dan bukan untuk menjatuhkan atau menghina. Jika penghinaan dan celaan bersifat privasi atau hal-hal yang bersifat fisik sedangkan kritik bersifat argumentatif dan ilmiah, bukan karena kebencian.

Budaya kritik yang pernah dibangun oleh ulama terdahulu misalnya ulama Sunni mengkritik pemikiran ulama Salafi-Wahabi atau sebaliknya, ulama Sunni mengkritik ulama Syiah, Imam Ghazali ahli tasawuf mengkritik pemikiran Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan sebagainya. Umumnya budaya kritik dilakukan melalui karya tulis atau kitab dan budaya ini masih dilakukan sebagian oleh intelektual muslim.

Berbeda dengan fitnah dan ghibah yang sama-sama terlarang, kritik atau diskusi ilmiah memiliki landasan hukum dan legitimasi didalam Al-Qur'an yaitu bagian dari al-Mujadalah (jadilhum billati hiya ahsan) sebagaimana surat an-Nahl 125 yaitu debat ilmiah atau sharing pendapat. Dalam konteks kekinian, debat ilmiah dilakukan secara face to face yaitu menghadirkan nara sumber atau tokoh yang memiliki perbedaan pandangan pemikiran sehingga dapat disaksikan oleh publik.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan pesatnya iptek, idealnya semangat keilmuan dan kritisisme manusia semakin memuncak sehingga sangat diperlukan sikap kritis dan membudayakan kritik ilmiah. Manusia modern seharusnya tidak mudah untuk percaya hal-hal yang berbau instan yang diobral oleh media. Jika mudah percaya dengan media yang mencari keuntungan pasar (marketable), maka disini sudah terjadi kemunduran pemikiran dan intelektual. Sayangnya, semakin banyak manusia modern kini lebih meyakini media ketimbang fakta, menyebarkan berita yang tidak jelas dan menebarkan kebencian.

Ada pula manusia yang anti kritik. Manusia yang semacam ini merasa lebih baik dari manusia lainnya, tidak pernah merasa salah, subjektif dan menuhankan pemikiran. Siapapun yang berbeda pemikirannya akan dianggap musuh dan menebarkan tuduhan yang macam-macam kepada muslim lainnya mulai tuduhan liberal, syiah, kafir dan auto murtad.

Logisnya, jika seseorang tidak ingin dikritik atau dikritisi maka sebaiknya tidak perlu melontarkan pendapat yang mengundang kritik atau kontroversial. Tidak perlu buat status, tidak perlu update profil dan tidak usah memakai media sebab apapun yang dilakukan via media, responnya hanya dua yaitu antara setuju (pro) dan tidak setuju (kontra). Jika bersikap paranoid atau takut dikritik maka tidak perlu muncul dimedia.

Setiap orang yang memakai media perlunya mempertimbangkan siap atau tidak siap untuk disetujui atau tidak disetujui oleh khalayak. Kerapnya yang ada dalam benak sebagian orang, setiap orang diharap hanya setuju dengan pemikirannya, tidak ada kata tidak setuju, selalu dilike dan diharap untuk mendapat pujian.

Maka sudah sewajarnya jika seorang tokoh publik, ustadz (apalagi ustadz dadakan), pejabat dan sebagainya akan mendapat beragam respon dari publik terkait apa yang diucapkannya. Dan seharusnya tokoh tersebut perlu menanggapi secara positif siapapun yang mengkritiknya. Berpositif thinking akan menghasilkan diskusi yang baik, membangun kesadaran intelektual dan menyadarkan kepada kita semua bahwa sehebat apapun seseorang tetap akan memiliki kekurangan sebagaimana ada banyak langit diatas langit yang pertama.

Baca selanjutnya: Bid'ah-Bid'ah NU yang Perlu diwaspadai

Orang yang dapat merespon positif setiap kritik tidak akan memuja pemikirannya, tidak memonopoli kebenaran, tidak memberhalakan apa yang dianggap benar dan tentunya sadar bahwa ada banyak hamba Allah yang lebih berilmu dimuka bumi ini. Hanya saja mereka tidak menampakkannya karena kerendahan hatinya (tawadhu'), kezuhudannya dan rasa rakutnya kepada Allah yang sangat mendalam.

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَآبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَ لْوَانُهٗ كَذٰلِكَ    ؕ  اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰٓؤُا    ؕ  اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun. [QS. Fatir: Ayat 28]

2 comments:

  1. Semoga tidak ada lagi kritik yang tidak membangun, kembangkanlah sikap saling bertenggang rasa apalagi dengan sesama saudara

    ReplyDelete
  2. Ya mbk, hendakny kritik dismpaikn bkn ats dasar kbencian. Smangt toleransi bg warga NU dikmbangkn dgn trilogi ukhuwah yakni ukhuwah diniyah/islamiyah, wathaniyah dan basyariyah. Kt hidup dlm kompleksitas kmajemukan shgg tanggungjawab brsama bg kt mnjg negeri ini dr klompok manapun yg ingin mrusakny baik mrusak ats nama anti agama maupun mrusak dgn brsembunyi dibalik simbol2 agama. Mhn mf ats sgala kkurangan dlm tulisan ini. Trmksh ats hadirnya. Slm silaturahim dr kami. Smg tdk jenuh utk sll hadir diblog ini. He....

    ReplyDelete

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...