Thursday, December 28, 2017

Tasawuf: Jalan Suci "Manunggaling Kawula Gusti"


Komponen Islam terhimpun dalam tiga konsep yaitu akidah, syariah dan akhlak yang kemudian dikenalkan Rasulullah sebagai pilar Iman, Islam dan Ihsan. Jika iman mengatur urusan akidah (teologi), islam tentang syariah (hukum) maka ihsan mengatur tentang aspek batiniyah (hati) yaitu pembentukan akhlak.

Konsep tasawuf (sufistik) adalah alternatif atau salah satu jalan untuk mencapai kedekatan (taqarrub) kepada Allah yaitu membentuk kemuliaan akhlak (ihsan) baik kepada Allah maupun kepada manusia.

Tanpa mengamalkan tasawuf, sebenarnya umat Islam bisa saja memiliki akhlak yang mulia dan budi yang luhur dengan catatan memahami dan menyelami setiap pesan filosofi dari praktik syariah. Memahami hakikat shalat, pesan puasa, makna dibalik perintah berzakat dan sebagainya.

Dengan bertasawuf, seseorang akan senantiasa terjaga iffah (kesucian) baik lahiriah maupun batiniahnya. Lisannya terjaga, hatinya lembut, perkataannya mendamaikan manusia dan sikapnya yang selalu merendah dihadapan Allah.

Berbeda dengan orang yang sama sekali tidak mengenal tasawuf baik tasawuf formal dalam arti ikut madrasah thariqah maupun tidak memahami pesan dari praktik syariah sehingga pemahaman yang sempit, serba formal, mudah marah-marah, tidak memiliki kelembutan hati dan perkataannya hanya seputar halal dan haram.

Jalan tasawuf ini sangat penting terutama bagi para penebar dakwah. Berdakwah bukan untuk menakut-nakuti umat atau membuat kontroversial ditengah masyarakat walaupun bisa saja apa yang disampaikan benar. Dakwah adalah mengajak dan menyampaikan pesan agama yang tentu harus dilandasi dengan sikap ramah, santun dan kasih sayang. Dakwah bukan untuk memaksa apalagi memvonis dengan stigma negatif terhadap masyarakat. Jika sudah memahami tasawuf, maka pendakwah akan banyak memudahkan daripada mempersulit sebagaimana prinsip Islam yassiru wala tu'assiru, basyyiru wala tunaffiru (mudahkanlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan menakut-nakuti). Akan ada banyak toleransinya dan banyak maklumnya daripada menimbulkan kekacauan dan kemudharatan yang lebih besar. Menyampaikan adalah kewajiban namun tidak perlu memaksa atau bersedih hati jika apa yang dikehendaki belum dituruti.

Memang benar bahwa memahami fikih (syariah) adalah jalan utama untuk mencapai ibadah yang maqbul namun jika tidak diimbangi dengan ilmu sufistik maka ibadahnya dangkal, formalitas, kaku dan sulit untuk melaksanakan hukum secara kontekstual.

Dengan  suluk (jalan tasawuf), seseorang yang menapaki jalan tasawuf (salik) akan menjalani pentahapan-pentahapan spiritual mulai yang bersifat formal atau ibadah (syariat), kemudian menuju jalan atau tangga (thariqat), naik kepada hakikat (memahami pesan filosofis dari syariat) hingga kemudian mencapai derajat makrifatullah yaitu benar-benar mengenal Allah sehingga yang tersisa hanya cinta dan cinta (mahabbah).

Ibadah yang dilandasi dengan cinta akan menghasilkan buah yang berbeda dibandingkan dengan ibadah yang dilandasi hanya karena kewajiban. Ibadah karena mahabbah akan merasakan "kelezatan" spiritual dan kenikmatan "bercinta" dengan Allah sedangkan ibadah sebatas perintah akan gersang spiritual, tidak membuahkan prilaku yang baik dan terasa berat dalam menjalaninya.

Tidak benar bahwa orang yang telah mencapai makrifatullah yang merupakan tangga tertinggi dalam madrasah tasawuf lantas meninggalkan syariat sebab syariat, thariqat, hakikat dan makrifat adalah satu paket kesatuan dalam madrasah tasawuf yang tak dapat dipisahkan. Jika memisahkan komponen tersebut maka akan kacau balau terlebih meninggalkan syariat yang merupakan tangga pertama berupa kewajiban-kewajiban maka jelas kesesatannya.

Ahlussuffah seperti Abu Hurairah dan para sahabat kemudian dilanjutkan oleh generasi Al-Ghazali, Junaid Al-Baghdadi, Abdul Qadir Jilan (Al-Jaelani), Jalaluddin Rumi, Rabi'ah Al-Adawiyah, Yazid Al-Busthami dan sebagainya merupakan generasi-generasi sufi yang lurus sehingga mampu menyatukan antara syariah dan tasawuf.

Di Nusantara kita bisa mengenal sufi Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri dan sebagainya yang memandang tasawuf sebagai jalan damai dan jalan keselamatan. Kehadiran mereka bukanlah untuk memusuhi kelompok syariat (ahli fikih).

Gelombang tasawuf di Nusantara semakin pesat dengan banyaknya aliran-aliran sufi yang memiliki corak dan ragam yang berbeda. Kelompok-kelompok tasawuf (thariqah/tarekat) ini pula diyakini turut serta dalam proses Islamisasi di Nusantara.

Kentalnya nuansa sufistik yang turut serta berpengaruh dalam tubuh Islam ternyata tidak serta merta disambut baik oleh umat Islam. Ada golongan tertentu yang sangat anti tasawuf sehingga tasawuf dianggap sebagai penyimpangan dan biang kesesatan. Kelompok-kelompok kaku yang hanya mengangungkan formalitas (fikih) menghembuskan isu-isu negatif agar umat Islam menjauhi tasawuf.

Kita bisa melihat bagaimana fitnah dan kebohongan terhadap Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang) dengan nama asli Sayyid Hasan Ali Azmatkan yang dianggap sebagai penebar kesesatan karena konsep "Manunggaling Kawula Gusti". Bagi kalangan formalis dan tekstualis, Manunggaling Kawula Gusti dipahami sebagai menyatunya fisik Tuhan (Allah) kepada hamba-Nya (manusia). Jelas ini adalah pemahaman yang salah. Bukan salah konsepnya sebab yang dimaksud sejatinya adalah mampu menyatunya (internalisasi) sifat-sifat kebaikan Tuhan melebur dalam diri manusia.

Dengan "Manunggaling Kawula Gusti", manusia mengetahui posisi rendahnya dihadapan Tuhan, mampu menyerap sifat-sifat baik Tuhan seperti pembawa rahmat, penebar kasih sayang, kelembutan, kesabaran, pemaaf dan pengampun. Ketika manusia sudah mampu manunggal kepada Allah, maka manusia akan senantiasa mendapatkan pancaran dan pencerahan berupa firasat, isyarat dan bisikan-bisikan kebaikan dari malaikat yang bersumber dari Allah. Ia akan senantiasa bersama Allah, merasakan kehadiran Allah dan tidak pernah merasa berpisah dengan Allah.

Madrasah tasawuf mengajarkan bahwa dengan keikhlasan, kesabaran, kesederhanaan dan keistiqamahan maka pesan dakwah akan diterima. Kita bisa saksikan bagaimana para wali, kiai-kiai sepuh, ulama-ulama nusantara mampu mengenalkan Islam dengan jalan damai. Mereka memformat ajaran Islam bukan dengan banyak dalil, bukan dengan modal ribuan hadits, bukan dengan kutipan-putipan ayat Al-Qur'an yang panjang lebar namun dengan nilai-nilai, dengan pesan-pesan filosofi yaitu ajaran Islam yang membumi berupa tembang-tembang, syi'ir-syi'ir, seni dan sebagainya sehingga Islam mampu menebar rahmat dan perdamaian.

Baca juga: LGBT dalam Perspektif Islam dan Keindonesiaan









2 comments:

  1. السلام عليكم ورحمۃ ﷲ وبركاته

    ReplyDelete
  2. وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

    Maturnuhun akang yai sdh hadir disini. Mhn mf jk tulisan sy bnyk ksalahan dn kkurangan. Hny skedar mnulis utk lbih mngenal diri. Mangga jk ingin mnambahkn dn mmbrikan nasehat utk sy shgg sy bs smangat lg utk mmprbaiki diri.

    ReplyDelete

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...