Tuesday, January 9, 2018

Apakah Tahlilan Kematian Ada Dalilnya?


Ada sebagian umat Islam yang menamakan diri mereka sebagai Salafi (nama lain dari sekte Wahabi) yang gemar mencela atau menuduh sesat amaliyah umat Islam lainnya yaitu kaum Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja-Sunni). Dalam hal ini, warga Nahdlatul Ulama (NU) atau Nadliyin kerap dituduh melakukan amaliyah yang tidak ada tuntunannya dari Al-Qur'an maupun dari Rasulullah. Akibatnya, suatu amalan yang tidak berasal dari Al-Qur'an dan Hadits mereka anggap bid'ah tercela atau sesat. Bahkan mereka menuduh amalan tahlilan kematian berasal dari ajaran Hindu. Sungguh tuduhan yang sangat keji dan tidak beradab.

Jika segala sesuatu yang tidak ada dalilnya secara tekstual didalam Al-Qur'an dan Hadits dianggap pasti salahnya maka pendapat yang demikian adalah pendapat yang tidak benar. Ada sumber hukum lain disamping Al-Qur'an dan Hadits atau Sunnah yaitu Qiyas (analogi) dan Ijma (konsensus ulama).

Diantara amaliyah yang diserang kelompok Wahabi adalah tentang Tahlil dalam acara kematian yang mereka anggap tidak ada dalilnya sehingga amalan sesat yang menjerumuskan keneraka. Benarkah tahlilan kematian tiada dalilnya dan benarkah amaliyah tersebut mengandung kesesatan?

Ada kesalahan pemahaman dari kalangan Wahabi memahami tentang acara tahlil kematian. Kesalahan itu meliputi anggapan yang seolah diwajibkan pada hari-hari tersebut atau mayyit hanya akan diampuni dosanya jika diadakan acara tahlil atau dikira mendoakan mayit hanya saat acara tahlil dan seolah biaya acara tahlil dengan menghidangkan makanan diambil dari orang yang terkena musibah (shahibul musibah). Mereka mengumpamakan dengan ungkapan "Sudah Jatuh Tertimpa Tangga". Padahal yang terjadi dimasyarakat tidak demikian.

Acara tahlilan bukanlah kewajiban dan bukan pula paksaan sebab hanya mengikuti tradisi yang telah dilakukan oleh para sahabat nabi generasi setelahnya. Mendoakan mayit bisa kapan saja dan tidak ada salahnya pula jika dibuat pada hari tertentu. Biaya menghidangkan makanan jika tidak mampu biasanya berasal dari sumbangan pentakziyah sehingga dihukumi sedekah. Maka dalam acara apapun, sedekah mengandung kebaikan dan berpahala. Selain itu, acara tahlil kematian berisi kalimat-kalimat thayyibah, kalimat dzikir, ayat Al-Qur'an,  shalawat dan sebagainya.

Apakah pahala sedekah bisa sampai pahalanya kemayit? Ya. Menurut Aswaja, pahala sedekah sampai kepada mayit sebagaimana Hadits riwayat al-Bukhari dari Aisyah:
أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah: Ibu saya telah meninggal dan aku berprasangka andai dia bisa berbicara pasti dia akan bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya?’ Rasulallah menjawab: Benar.

Mengenai acara tahlil kematian yang disesuaikan dengan harinya (hari ketujuh dan seterusnya), tradisi ini telah dilakukan oleh tabi'in yang bernama Thawus sebagaimana keterangan diambil dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:

قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
Artinya: “Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra. di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.

Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:

ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول

ِArtinya: Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.

Dalam kitab Nihayah al-Zain, Juz I, halaman 281 juga disebutkan:
وَالتَّصَدُّقُ عَنِ اْلمَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍّ مَطْلُوْبٌ وَلَا يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِيْ سَبْعَةِ اَيَّامٍ اَوْ اَكْثَرَ اَوْ اَقَلَّ وَتَقْيِيْدُهُ بِبَعْضِ اْلاَيَّامِ مِنَ اْلعَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا اَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدِ اَحْمَدء دَحْلَانِ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ اْلمَيِّتِ فِي ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِي سَابِعٍ وَفِيْ تَمَامِ اْلعِشْرِيْنَ وَفِي اْلاَرْبَعِيْنَ وَفِي الِمأَةِ وَبِذَلِكَ يُفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا فِي اْلمَوْتِ كَمَا اَفَادَهُشَيْخَنَا يُوْسُفُ السُنْبُلَاوِيْنِيْ.

Di anjurkan oleh syara’ untuk bersedekah bagi mayit dan sedekah itu tidak di tentukan pada hari ke tujuh sebelumnya maupun sesudahnya. Sesungguhnya pelaksanaan sedekah pada hari-hari tertentu itu sebagai kebiasaan (adat), sebagaimana fatwa Sayyid Zaini Ahmad Dahlan yang mengatakan ”Sungguh telah berlaku dimasyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematian, hari ketujuh, dua puluh, dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Yusuf Al-Sumbulawini.

Adapun istilah 7 hari dalam acara tahlil bagi orang yang sudah meninggal hal ini sesuai dengan amal yang dicontohkan sahabat Nabi.

Imam Al-Suyuthi berkata:
أَنَّ سُنَّةَ اْلإِطْعَامِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى اءلآنَ بِمَكَّةَ وَاْلمَدِيْنَةَ فَالظَّاهِرُ أَنَّهَالمَ ْتَتْرُكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى اْلآنَ وَأَنَّهُمْ أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ (الحاوي للفتاوي,ج:۲,ص:۱۹۴)
“Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriah) di Makkah dan Madinah. Kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Rasulullah)” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 194).

Kemudian mengenai dzikir tahlil secara bersama-sama juga ada dalilnya dalam beberapa hadits diantaranya:

مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لَا يُرِيْدُوْنَ بِذَالِكَ إلَّا وَجْهَهُ تَعَالَى إلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْأ مَغْفُوْرًا لَكُمْ –أخرجه الطبراني
Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridha Allah kecuali malaikat akan menyeru dari langit : Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian.(HR. Ath-Thabrani)

Dalil dibolehkannya dzikir dengan suara Jahr (lantang) sebagaimana sabda Rasulullah:

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَناَ عِنْدَ ظَنِّي عّبْدِي بِي وَأنَا مَعَهُ عِنْدَ ذَكَرَنِي، فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرًا مِنْهُ –منقق عليه
Allah Ta’ala berfirman : Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku senantiasa menjaganya dan memberinya taufik serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut nama-Ku. Jika ia menyebut nama-Ku dengan lirih, Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan sembunyi-sembunyi dan jika ia menyebut-Ku secara berjama’ah atau dengan suara keras maka Aku akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia.(HR Bukhari dan Muslim).

Baca berikutnya: Memahami Makna Persatuan Umat Islam

Kaum Aswaja juga memiliki dalil mengenai bid'ah hasanah yakni perbuatan baru yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah namun memiliki unsur kemanfaatan dan kemaslahatan sehingga tidak semuanya bid'ah bermakna sesat sebagaimana hadits:

من سنّ في الاسلام سنّة حسنة فعل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها ولا ينقص من أجورهم شئ . من سنّ في الاسلام سنّة سيّئة فعل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من أوزارهم شئ . (رواه مسلم)
Siapa yang mengadakan dalam Islam berupa sunnah hasanah (tradisi atau kebiasaan yang baik) dan diamalkan orang (dikemudian hari) sunnahnya (kebiasaannya) itu, maka diberikan kepadanya pahala sebagaimana pahala orang yang mengerjakan tersebut, dengan tidak mengurangi sedikit pun dari pahala orang yg mengerjakannya. Dan siapa yang mengadakan dalam Islam sunnah sayyi'ah (tradisi atau kebiasaan yang buruk) dan diamalkan orang (dikemudian hari) sunnah yang buruk itu, maka diberikan kepadanya dosa seperti dosa orang yang mengerjakan tersebut dengan tidak dikurangi sedikit pun dari dosa orang yang mengerjakannya. (HR. Muslim)

Dengan memahami pendapat dan pemahaman Aswaja ini, hendaknya kaum Wahabi tidak lagi serampangan menuduh sesat umat Islam lainnya. Kaum Aswaja tidak pernah memaksa kelompok lain untuk mengamalkan tahlilan maka sudah semestinya kaum Wahabi memiliki sikap penghormatan dan tidak pula menuduh kaum Aswaja dengan tuduhan yang keji. Setiap amalan yang kita lakukan semuanya ada pertanggungjawabannya masing-masing maka tidak layak seorang hamba menuduh, mencela dan menghakimi sesat kepada umat Islam lainnya hanya karena perbedaan pemahaman.

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...