Saturday, December 30, 2017

Sikap Umat Islam dalam Memaknai Tahun Baru Masehi


Seputar tahun baru masehi membawa perbedaan pendapat diantara umat Islam terkait boleh atau tidak dalam memperingatinya. Berbeda dengan tahun baru Hijriyah yang diakui sebagai kalender umat Islam walau secara resmi baru dipakai dimasa Umar bin Khattab dan sama sekali belum dipakai oleh Rasulullah, sedangkan kalender masehi dibakukan oleh Paus Gregorius sehingga disebut dengan kalender Gregorian yaitu sistem penanggalan untuk menyempurnakan kalender Julian (dirancang oleh kaisar Julius, penguasa Roma).

Tidak dapat dipungkiri meskipun kalender masehi sarat dengan nuansa non muslim, namun faktanya mayoritas penduduk dunia termasuk negeri-negeri muslim mengadopsi kalender masehi dalam penanggalannya walaupun sebagian negeri muslim (termasuk Indonesia) juga memakai kalender hijri walau tak sepopuler kalender masehi. Hal ini disebabkan dampak dari penjajahan bangsa Eropa kenegeri muslim dan runtuhnya peradaban Islam dimasa lalu.

Memahami sejarah tentang kalender Masehi diatas, mayaritas ulama Islam melarang melakukan perayaan atau peringatan tahun baru masehi dengan alasan karena berasal dari tradisi non muslim atau budaya paganisme yang biasanya tradisi non muslim dalam merayakan tahun baru masehi sarat dengan peribadatan, identik dengan kemaksiatan dan tentunya dihukumi sebagai tasyabbuh bil kuffar yaitu menyerupai ibadah atau tradisi orang kafir.

Lantas, bagaimana jika umat Islam merayakan atau memperingatinya tidak dengan tradisi kemaksiatan sebagaimana non muslim diatas? Tidak bakar petasan, tidak tiup terompet, tidak pakai topi kerucut dan seterusnya yang identik dengan tradisi non muslim namun merayakannya dengan kumpul-kumpul bersama keluarga, makan-makan seperti bakar ayam misalnya, dzikiran dimasjid, pengajian dan acara keagamaan lainnya? Disini muncul beragam pendapat. Ada yang tetap kukuh menghukuminya haram karena harinya adalah hari dimana terjadi kemaksiatan, tidak pernah dicontohkan oleh nabi sehingga dihukumi bid'ah atau kesesatan dan agar tidak menjadi kebiasaan sehingga dianggap wajib bagi umat Islam.

Kalangan umat Islam yang lain menghukumi boleh merayakan tahun baru asalkan tidak melanggar syariat sebagaimana yang dilakukan oleh non muslim diatas yaitu mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Alasannya, dihukumi sebagai tasyabbuh jika menganggapnya sebagai bagian dari ritual atau ibadah sedangkan merayakan tahun baru masehi bagi umat muslim tidak identik dengan acara peribadatan dan semua aktivitas atau perbuatan dinilai dari niatnya. Jika memang diniatkan sebagai ibadah wajib yang harus dilakukan sebagaimana praktik non muslim apalagi melanggar syariat maka jelas keharamannya.

Masih menurut pendapat yang membolehkan, daripada diisi dengan hal yang sia-sia dan hura hura, ditambah lagi perlunya terobosan dakwah bagi kawula muda dalam memaknai tahun baru masehi sehingga perlunya mengimbangi acara tahun baru dengan hal-hal yang bermanfaat dan mencerahkan. Khawatirnya, dengan langsung dilarang atau dihukumi kafir jika merayakan tahun baru masehi, remaja muslim akan ikut terjerumus dalam merayakannya dengan hal yang melanggar syariat.

Hal ini juga berlaku bagi umat Islam yang libur aktivitasnya karena tahun baru masehi. Karena tahun baru masehi ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh pemerintah maka tidak dihukumi tasyabbuh dengan orang kafir asalkan niatnya tidak demikian. Hari libur bukan dimaknai sekedar berdiam diri dirumah namun melakukan hal yang bermanfaat dengan kegiatan tertentu maka tidak dihukumi kafir.

Beragam pendapat diatas hendaknya kita bisa menyikapinya dengan bijak. Meyakini pendapat kita masing-masing dengan tidak memaksakan pendapat pribadi yang akhirnya mengoyakkan persatuan diantara umat Islam dan umat beragama lainnya. Tidak serampangan dalam mengambil hukum sehingga mudah untuk mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham.

Baca juga: Mewaspadai Ancaman Radikalisme dan Liberalisme

Perlunya peran bijak bagi pendakwah dalam menyampaikan Islam yang santun. Menyampaikan kebenaran memang wajib namun diperlukan sikap keluasan dan fleksibilitas (mutawassi' wa mutasahhil) sesuai konteks yang dihadapinya. Dakwah tidak harus disampaikan dengan kekerasan dan keekstriman (mutasyaddid wa mutadhayyiq). Menyampaikan kebenaran dengan akhlak dan kelembutan sebagaimana yang telah diajaran para nabi, sahabat dan shalafus shalih.

Ada baiknya untuk kita semua, apakah itu momen penting atau tidak, peringatan tahun baru atau bukan (baik masehi maupun hijri), hendaknya umat Islam senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah dan introspeksi diri (muhasabah) atas setiap aktivitas yang dilakukannya. Senantiasa merenungi dan mengoreksi kekurangan pribadi untuk menjadi lebih baik kedepannnya.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ  وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ  فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِ ۚ  فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ  ؕ  اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.
[QS. Ali 'Imran: Ayat 159]

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...